Sabtu, 27 Desember 2014

Tulisan 5 : Resensi Film "99 Cahaya Di Langir Eropa"

99 Cahaya di Langit Eropa
Puas menikmati keindahan Eropa dengan biaya murah meriah
 

 
Judul film : 99 Cahaya di Langit Eropa
Tanggal rilis : 5 Desember 2013
Genre : Drama, Religi
Produksi : Maxima Pictures
Pemain : Acha Septriasa, Abimana Aryasatya, Nino Fernandez, Dewi Sandra, Raline Shah, Geccha Tavvara, Marissa Nasution, Alex Abbad, Dian Pelangi, Hanum Salsabiela Rais, dan Fatin Shidqia.
Sutradara : Guntur Soeharjanto
 
       “Wahai anakku, dunia ini bagaikan samudra di mana banyak ciptaan-ciptaan-Nya yang tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah. Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu. Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayung kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda perjalananmu; dan kesabaran sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan.” 
-          Ali bin Abi Thalib 
       99 Cahaya di Langit Eropa merupakan sebuah film yang diangkat dari novel islami international bestseller karya Hanum Salsabiela Rais, dan Rangga Almahendra, suaminya, dengan judul yang sama. Sebelum mendengar film ‘99 Cahaya di Langit Eropa’ diangkat ke layar lebar, saya pernah melihat sekilas novel itu saat dibaca seorang wanita yang duduk di sebelah saya di dalam kereta.
       Film yang sarat akan makna perjalanan yang diucapkan sahabat Ali bin Abi Thalib ini tidak hanya mengadopsi cerita yang digambarkan di dalam novel saja, bahkan ada beberapa cerita yang tak tertulis namun dituangkan ke dalam film. Di luar perbedaan antara menikmati perubahan plot dan penokohan dalam film dan novel, saya tetap menikmatinya.
        Beberapa perbedaan di antaranya, adegan Khan (Alex Abad) mahasiswa asal India yang lebih memilih melaksanakan kewajiban shalat Jumat daripada mengikuti ujian yang dijadwalkan tepat di saat shalat Jumat berlangsung, ia harus rela menunda kelulusannya tahun depan. Lewat penokohan Rangga dan sahabatnya ini penonton dibuat dilema merasakan kenyataan hidup sebagai pemeluk agama minoritas di Eropa. Adegan Stefan belajar puasa pada Rangga (Abimana Aryasatya), adegan ini benar-benar hidup sukses membuat penonton tersenyum geli melihat ekspresi Stefan (Nino Fernandes) yang menahan lapar sampai pukul tujuh malam, lalu penguatan karakter Ayse di dalam buku berusia tiga tahun namun di dalam film, Ayse digambarkan sudah bersekolah.
       Dalam menggarap cerita dan adegan yang tidak tertulis di novel, sang sutradara Guntur Soeharjanto menggali langsung kepada penulis untuk mengerti lebih jauh bagaimana karakter penulis dan tokoh-tokoh di dalam novel. Jujur, saya menyukai karakter Ayse versi film. Ayse lebih hidup dan aktingnya natural!
Di menit awal film ini diputar saya merasakan kantuk karena terbuai alunan musik khas Eropa yang soft dan mellow, namun beberapa menit setelahnya saya dibuat tercengang seolah-olah merasakan bahwa saya benar-benar tengah berjalan menyusuri sudut-sudut Eropa. Saya mencubit pipi, sambil bergumam: "Visualisasinya keren!"
        99 Cahaya di Langit Eropa tidak hanya menggunakan unsur drama, namun di dalamnya penonton diajak merasakan besarnya pengaruh Islam di benua Eropa lewat perjalanan Hanum (Acha Septriasa), Fatma Pasha (Raline Shah), dan Ayse (Geccha Tavvara). Perjalanan pertama dimulai dari bukit Kahlenberg yang dingin dan berlanjut dengan menziarahi lukisan kakek moyang Ayse, seorang Turki, Kara Mustafa Pasha di museum Wina.
        Lalu perjalanan Hanum dengan Marion Latimer (Dewi Sandra) seorang mualaf Paris sekaligus sejarawan, mereka menjelajahi museum Louvre—museum yang pernah dijadikan latar salah satu scene The Da Vinci Code— untuk melihat rahasia di balik lukisan Bunda Maria yang dihijabnya bertahtakan kalimat tauhid La ilaha illallah ditulis dengan Pseudo-Kufic yang biasa dibuat oleh pelukis non muslim yang mencoba meniru inskripsi Arab. Selain lukisan Mona Lisa karya pelukis ternama Leonardo da Vinci abad 16 yang menarik perhatian, lukisan Bunda Maria bertema The Virgin and The Child karya tangan dingin Ugolino di Nerio ini juga mendapat apresiasi besar dari para pengunjung museum yang dibangun oleh Philip Augustus II pada abad ke 12.
      Setelah melihat lukisan The Virgin and The Child, Marion Latimer mengajak Hanum melihat sebuah piring kuno yang dihiasi tulisan Arab yang berbunyi:
العِلْمُ مُرٌّ شَدِيْدٌ فِى الْبِدَايَة و اَحْلَى مِنَ الْعَسلِ فى النِهايَة
artinya adalah “Ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya tetapi manis melebihi madu pada akhirnya”.
       Museum Louvre pada awalnya adalah benteng pertahanan. Benteng ini ini diperluas sedikit demi sedikit hingga menjadi istana tempat bersemayam raja-raja Perancis. Pada tahun 1682, Louis XIV memutuskan pindah ke istana Versailles sebagai tempat kediamanannya, sehingga Louvre berubah fungsi  menjadi tempat penyimpanan berbagai koleksi kerajaan. Selama revolusi Perancis, Louvre diubah menjadi museum untuk menyimpan berbagai benda berharga.
       Marion yang notabene peneliti di World Arab Institute, mengungkapkan rahasia besar Axe Historique garis imajiner yang membelah kota Paris yang dibuat oleh Napoleon Bonaparte setelah ia dan pasukannya melakukan ekspedisi dari Mesir. Jalan lurus yang membelah Monumen le Defense, jalan Champ Elysees, Tugu Obelisk, Arc du Triomphe de Carrousel dan Museum Louvre itu bernama lain voie triomphale atau jalan kemenangan. Jalan yang menghadap lurus ke arah Kakbah, yang jika ditarik ke arah timur keluar dari benua Eropa itu bisa dilihat dari atas gerbang Arc du Triomphe de l'Etoile, sebagaimana Marion dan Hanum melihatnya. Menurut Marion, salah satu kaki tangan Napoleon Bonaparte yaitu Jenderal Francois Menou telah memeluk Islam setelah ekspedisi dari Mesir, jadi bukan tidak mungkin bahwa Napoleon sendiri adalah seorang Muslim. Di adegan ini, saya menyukai karakter Marion Latimer yang penjelasannya halus namun mengena, god job Dewi Sandra!
       Film karya Guntur Soeharjanto itu memberikan nuansa baru perfilman nasional. 99 Cahaya di Langit Eropa bercerita tentang pasangan suami istri Hanum dan Rangga yang tinggal selama tiga tahun di Austria. Karena jenuh menunggu suami pulang kampus, Hanum berinisiatif mencari pekerjaan seperti saat ia bekerja di Jakarta sekaligus ingin menyusuri seluk-beluk setiap sudut Eropa. Saat mengikuti kursus bahasa itulah ia mengenal sosok Fatma, sejak saat itu mereka bersahabat sampai akhirnya Fatma memperkenalkan Marion untuk menemani perjalan Hanum menyusuri sejarah Islam di Perancis.
       Guntur Soeharjanto mengatakan yang khas dari film ini adalah tokoh Hanum dan Rangga yang masih hidup dan nyata. Acha dan Abimana sendiri dituntut mampu menyesuaikan tokoh Hanum dan Rangga. Menurut saya, secara garis wajah Acha memang mirip mbak Hanum, mungkin hal inilah  yang memotivasi Guntur Soeharjanto merekrut Acha sebagai pemeran Hanum. Di film ini Hanum Salsabiela Rais sendiri turut berperan, ia memerankan tokoh Ezra. Kehadiran Ezra selalu didampingi Latife (Dian Pelangi), mereka sahabat Fatma yang tergabung dalam agen Muslim yang baik.  
       Ada beberapa kejanggalan, salah satunya adegan munculnya Fatin Shidqia sebagai Fatin penyanyi international yang tengah shooting lagu islami di Eropa. Bukan saya tidak menyukai Fatin, saya seorang penikmat lagu-lagu Fatin dari ribuan Fatinistic, tapi adegan kehadirannya yang membuat saya mengernyitkan dahi. Saat Rangga (Abimana) berbicara, "Hei, sepertinya orang Indonesia," lalu Hanum (Acha) mengajak mendekati Fatin yang tengah shooting itu.
       "Fatin, ya?" tebak Hanum, di sini membuktikan bahwa Fatin sudah go international sehingga Hanum yang tiga tahun menetap di Austria saja tahu Fatin penyanyi luar biasa. Tetapi entah mengapa gesture Fatin malah jadi mengagumi Hanum layaknya seorang fans hanya karena Hanum tinggal di sana dan ia langsung meminta nomor handphone Hanum untuk suatu saat bisa tanya seluk beluk Eropa, ia menyerahkan ponselnya sambil membungkuk-bungkuk berterimakasih. Lho, jadi Hanum lebih terkenal tho daripada Fatin?
       Tentu saja adegan ini di luar dari perbedaan novel dan film ya, sementara dalam novel mbak Hanum memakai latar 2008 di mana Fatin belum menjadi penyanyi go international. Over all, kebijakan kembali pada mbak Hanum yang ternyata ngefans dengan Fatin Shidqia.
Seperti kuterbang di langit tinggi  
Temui satu titik cahaya-Mu  
Kulihat ada malaikat kecil-Mu  
Membisikkanku tuk tetap di sini,  
       Di penghujung film, barulah penonton mengetahui penyebab kepindahan Fatma ke Turki, di scene yang diiringi suara emas Fatin Shidqia ini perasaan saya campur aduk, takjub, dan haru. Saya jadi rindu Ayse Pasha.
        “Kami bukan siapa-siapa, tetapi pelajaran yang kami lalui, pengalaman kami selama di Eropa yang diharapkan menjadi inspirasi para penonton,” ucap Hanum. Hanum Rais sendiri mengatakan bukan maksud ingin mengangkat dirinya dalam film ini, tetapi ia ingin berbagi sisi pelajaran dan perjuangan hidup di Eropa sebagai muslim.
      Film 99 Cahaya di Langit Eropa sebuah film nuansa baru dalam perfilman nasional. Film yang ditayangkan sejak 5 Desember 2013 ini merupakan film pertama Indonesia bertema religi yang bernuansa kental sejarah dibalut dengan persahabatan, cinta, dan perjuangan.

sumber
 http://zakiahmad669.blogspot.com/2014/02/resensi-film-99-cahaya-di-langit-eropa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar