99 Cahaya di Langit Eropa
Puas menikmati keindahan Eropa dengan biaya murah meriah
Judul film : 99 Cahaya di Langit Eropa
Tanggal rilis : 5 Desember 2013
Genre : Drama, Religi
Produksi : Maxima Pictures
Pemain
: Acha Septriasa, Abimana Aryasatya, Nino Fernandez, Dewi Sandra,
Raline Shah, Geccha Tavvara, Marissa Nasution, Alex Abbad, Dian Pelangi,
Hanum Salsabiela Rais, dan Fatin Shidqia.
Sutradara : Guntur Soeharjanto
“Wahai anakku, dunia ini bagaikan samudra di mana banyak ciptaan-ciptaan-Nya
yang tenggelam. Maka jelajahilah dunia ini dengan menyebut nama Allah.
Jadikan ketakutanmu pada Allah sebagai kapal-kapal yang menyelamatkanmu.
Kembangkanlah keimanan sebagai layarmu, logika sebagai pendayung
kapalmu, ilmu pengetahuan sebagai nahkoda perjalananmu; dan kesabaran
sebagai jangkar dalam setiap badai cobaan.”
- Ali bin Abi Thalib
99 Cahaya di Langit Eropa merupakan sebuah film yang diangkat dari novel islami international bestseller
karya Hanum Salsabiela Rais, dan Rangga Almahendra, suaminya, dengan
judul yang sama. Sebelum mendengar film ‘99 Cahaya di Langit Eropa’
diangkat ke layar lebar, saya pernah melihat sekilas novel itu saat
dibaca seorang wanita yang duduk di sebelah saya di dalam kereta.
Film
yang sarat akan makna perjalanan yang diucapkan sahabat Ali bin Abi
Thalib ini tidak hanya mengadopsi cerita yang digambarkan di dalam novel
saja, bahkan ada beberapa cerita yang tak tertulis namun dituangkan ke
dalam film. Di luar perbedaan antara menikmati perubahan plot dan
penokohan dalam film dan novel, saya tetap menikmatinya.
Beberapa
perbedaan di antaranya, adegan Khan (Alex Abad) mahasiswa asal India
yang lebih memilih melaksanakan kewajiban shalat Jumat daripada
mengikuti ujian yang dijadwalkan tepat di saat shalat Jumat berlangsung,
ia harus rela menunda kelulusannya tahun depan. Lewat penokohan Rangga
dan sahabatnya ini penonton dibuat dilema merasakan kenyataan hidup
sebagai pemeluk agama minoritas di Eropa. Adegan Stefan belajar puasa
pada Rangga (Abimana Aryasatya), adegan ini benar-benar hidup sukses
membuat penonton tersenyum geli melihat ekspresi Stefan (Nino Fernandes)
yang menahan lapar sampai pukul tujuh malam, lalu penguatan karakter
Ayse di dalam buku berusia tiga tahun namun di dalam film, Ayse
digambarkan sudah bersekolah.
Dalam menggarap cerita dan
adegan yang tidak tertulis di novel, sang sutradara Guntur Soeharjanto
menggali langsung kepada penulis untuk mengerti lebih jauh bagaimana
karakter penulis dan tokoh-tokoh di dalam novel. Jujur, saya menyukai
karakter Ayse versi film. Ayse lebih hidup dan aktingnya natural!
Di menit awal film ini diputar saya merasakan kantuk karena terbuai alunan musik khas Eropa yang soft dan mellow,
namun beberapa menit setelahnya saya dibuat tercengang seolah-olah
merasakan bahwa saya benar-benar tengah berjalan menyusuri sudut-sudut
Eropa. Saya mencubit pipi, sambil bergumam: "Visualisasinya keren!"
99
Cahaya di Langit Eropa tidak hanya menggunakan unsur drama, namun di
dalamnya penonton diajak merasakan besarnya pengaruh Islam di benua
Eropa lewat perjalanan Hanum (Acha Septriasa), Fatma Pasha (Raline
Shah), dan Ayse (Geccha Tavvara). Perjalanan pertama dimulai dari bukit
Kahlenberg yang dingin dan berlanjut dengan menziarahi lukisan kakek
moyang Ayse, seorang Turki, Kara Mustafa Pasha di museum Wina.
Lalu
perjalanan Hanum dengan Marion Latimer (Dewi Sandra) seorang mualaf
Paris sekaligus sejarawan, mereka menjelajahi museum Louvre—museum yang
pernah dijadikan latar salah satu scene The Da Vinci Code— untuk melihat
rahasia di balik lukisan Bunda Maria yang dihijabnya bertahtakan
kalimat tauhid La ilaha illallah ditulis dengan Pseudo-Kufic yang
biasa dibuat oleh pelukis non muslim yang mencoba meniru inskripsi
Arab. Selain lukisan Mona Lisa karya pelukis ternama Leonardo da Vinci
abad 16 yang menarik perhatian, lukisan Bunda Maria bertema The Virgin
and The Child karya tangan dingin Ugolino di Nerio ini juga mendapat
apresiasi besar dari para pengunjung museum yang dibangun oleh Philip
Augustus II pada abad ke 12.
Setelah melihat lukisan The
Virgin and The Child, Marion Latimer mengajak Hanum melihat sebuah
piring kuno yang dihiasi tulisan Arab yang berbunyi:
العِلْمُ مُرٌّ شَدِيْدٌ فِى الْبِدَايَة و اَحْلَى مِنَ الْعَسلِ فى النِهايَة
artinya adalah “Ilmu pengetahuan itu pahit pada awalnya tetapi manis melebihi madu pada akhirnya”.
Museum
Louvre pada awalnya adalah benteng pertahanan. Benteng ini ini
diperluas sedikit demi sedikit hingga menjadi istana tempat bersemayam
raja-raja Perancis. Pada tahun 1682, Louis XIV memutuskan pindah ke
istana Versailles sebagai tempat kediamanannya, sehingga Louvre berubah
fungsi menjadi tempat penyimpanan berbagai koleksi kerajaan. Selama
revolusi Perancis, Louvre diubah menjadi museum untuk menyimpan berbagai
benda berharga.
Marion yang notabene peneliti di World Arab Institute, mengungkapkan rahasia besar Axe Historique
garis imajiner yang membelah kota Paris yang dibuat oleh Napoleon
Bonaparte setelah ia dan pasukannya melakukan ekspedisi dari Mesir.
Jalan lurus yang membelah Monumen le Defense, jalan Champ Elysees, Tugu
Obelisk, Arc du Triomphe de Carrousel dan Museum Louvre itu bernama
lain voie triomphale atau jalan kemenangan. Jalan yang
menghadap lurus ke arah Kakbah, yang jika ditarik ke arah timur keluar
dari benua Eropa itu bisa dilihat dari atas gerbang Arc du Triomphe de
l'Etoile, sebagaimana Marion dan Hanum melihatnya. Menurut Marion, salah
satu kaki tangan Napoleon Bonaparte yaitu Jenderal Francois Menou
telah memeluk Islam setelah ekspedisi dari Mesir, jadi bukan tidak
mungkin bahwa Napoleon sendiri adalah seorang Muslim. Di adegan ini,
saya menyukai karakter Marion Latimer yang penjelasannya halus namun
mengena, god job Dewi Sandra!
Film karya Guntur
Soeharjanto itu memberikan nuansa baru perfilman nasional. 99 Cahaya di
Langit Eropa bercerita tentang pasangan suami istri Hanum dan Rangga
yang tinggal selama tiga tahun di Austria. Karena jenuh menunggu suami
pulang kampus, Hanum berinisiatif mencari pekerjaan seperti saat ia
bekerja di Jakarta sekaligus ingin menyusuri seluk-beluk setiap sudut
Eropa. Saat mengikuti kursus bahasa itulah ia mengenal sosok Fatma,
sejak saat itu mereka bersahabat sampai akhirnya Fatma memperkenalkan
Marion untuk menemani perjalan Hanum menyusuri sejarah Islam di
Perancis.
Guntur Soeharjanto mengatakan yang khas dari
film ini adalah tokoh Hanum dan Rangga yang masih hidup dan nyata. Acha
dan Abimana sendiri dituntut mampu menyesuaikan tokoh Hanum dan Rangga.
Menurut saya, secara garis wajah Acha memang mirip mbak Hanum, mungkin
hal inilah yang memotivasi Guntur Soeharjanto merekrut Acha sebagai
pemeran Hanum. Di film ini Hanum Salsabiela Rais sendiri turut berperan,
ia memerankan tokoh Ezra. Kehadiran Ezra selalu didampingi Latife (Dian
Pelangi), mereka sahabat Fatma yang tergabung dalam agen Muslim yang
baik.
Ada beberapa kejanggalan, salah satunya adegan
munculnya Fatin Shidqia sebagai Fatin penyanyi international yang tengah
shooting lagu islami di Eropa. Bukan saya tidak menyukai Fatin, saya
seorang penikmat lagu-lagu Fatin dari ribuan Fatinistic, tapi adegan
kehadirannya yang membuat saya mengernyitkan dahi. Saat Rangga (Abimana)
berbicara, "Hei, sepertinya orang Indonesia," lalu Hanum (Acha)
mengajak mendekati Fatin yang tengah shooting itu.
"Fatin, ya?" tebak Hanum, di sini membuktikan bahwa Fatin sudah go international sehingga Hanum yang tiga tahun menetap di Austria saja tahu Fatin penyanyi luar biasa. Tetapi entah mengapa gesture
Fatin malah jadi mengagumi Hanum layaknya seorang fans hanya karena
Hanum tinggal di sana dan ia langsung meminta nomor handphone Hanum
untuk suatu saat bisa tanya seluk beluk Eropa, ia menyerahkan ponselnya
sambil membungkuk-bungkuk berterimakasih. Lho, jadi Hanum lebih terkenal
tho daripada Fatin?
Tentu saja adegan ini di luar dari
perbedaan novel dan film ya, sementara dalam novel mbak Hanum memakai
latar 2008 di mana Fatin belum menjadi penyanyi go international. Over all, kebijakan kembali pada mbak Hanum yang ternyata ngefans dengan Fatin Shidqia.
Seperti kuterbang di langit tinggi
Temui satu titik cahaya-Mu
Kulihat ada malaikat kecil-Mu
Membisikkanku tuk tetap di sini,
Di penghujung film, barulah penonton mengetahui penyebab kepindahan Fatma ke Turki, di scene yang diiringi suara emas Fatin Shidqia ini perasaan saya campur aduk, takjub, dan haru. Saya jadi rindu Ayse Pasha.
“Kami
bukan siapa-siapa, tetapi pelajaran yang kami lalui, pengalaman kami
selama di Eropa yang diharapkan menjadi inspirasi para penonton,” ucap
Hanum. Hanum Rais sendiri mengatakan bukan maksud ingin mengangkat
dirinya dalam film ini, tetapi ia ingin berbagi sisi pelajaran dan
perjuangan hidup di Eropa sebagai muslim.
Film 99 Cahaya
di Langit Eropa sebuah film nuansa baru dalam perfilman nasional. Film
yang ditayangkan sejak 5 Desember 2013 ini merupakan film pertama
Indonesia bertema religi yang bernuansa kental sejarah dibalut dengan
persahabatan, cinta, dan perjuangan.
sumber
http://zakiahmad669.blogspot.com/2014/02/resensi-film-99-cahaya-di-langit-eropa.html
sumber
http://zakiahmad669.blogspot.com/2014/02/resensi-film-99-cahaya-di-langit-eropa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar